Jumat, 06 Juli 2012

ANKILOSTOMIASIS

ANKILOSTOMIASIS


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Ankilostomiasis (infeksi cacing tambang pada manusia) adalah infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah yang disebabkan oleh nematoda parasit Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Ini adalah penyebab utama anemia dan malnutrisi protein, melanda sebuah 740 juta orang di negara-negara berkembang dari daerah tropis. Jumlah terbesar kasus terjadi di daerah pedesaan miskin di sub-Sahara Afrika, Amerika Latin, Asia Tenggara dan Cina. N. americanus adalah cacing tambang paling umum di seluruh dunia, sementara A. duodenale lebih dibatasi secara geografis (WHO, 2012).
Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi Cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit ini (Menkes, 2006).
Di dunia saat ini, lebih dari 2 milyar penduduk terinfeksi cacing. Prevalensi yang tinggi ditemukan terutama di negara-negara non industri (negara yang sedang berkembang).Merid mengatakan bahwa menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan 800 juta–1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700–900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta terinfeksi trichuris. Di Indonesia penyakit cacing merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi. Prevalensi dan intensitas tertinggi didapatkan dikalangan anak usia sekolah dasar. Di Sumatera Utara yang meliputi daerah tingkat dua Binjai, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Tanjung Balai, Sibolga dan Medan menurut hasil penelitian pada tahun 1995 menunjukkan tingkat prevalensi berkisar 57–90% (Ginting, 2003).
Infeksi cacing tambang juga berhubungan dengan kemiskinan. Menurut Peter Hotez (2008), semakin parah tingkat kemiskinan masyarakat akan semakin berpeluang untuk mengalami infeksi cacing tambang. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan dalam menjaga higiene perorangan dan sanitasi lingkungan tempat tinggal (Hotez, 2008 cit Sumanto, 2010).

B.            Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada tenaga medis dan dokter mengenai penyakit ankilostomiasis sehingga dalam penegakan diagnosis bisa terdiagnosa secara cepat dan tepat serta mendapatkan penanganan yang lebih baik, efektif dan efisien dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama                           : Tn. E
Umur                           : 38 tahun
Jenis Kelamin              : Laki-laki
Agama                         : Islam
Status perkawinan       : Belum menikah
Alamat                                    : Kutu 2/8 Telukan, Grogol, Sukoharjo
No RM                        : 190875
Masuk Rumah Sakit    : 12 Mei 2012
Jam                              : 14:23 WIB
Tanggal pemeriksaan   : 15 Mei 2012

ANAMNESA
Alloanamnesa à Tn. D (Petugas panti sosial)
Keluhan Utama :
BAB Cair.
Riwayat Penyakit Sekarang : 
Pasien datang ke IGD RSUD Sukoharjo pada tanggal 12 Mei 2012 jam 14.23 WIB dengan keluhan BAB cair sejak 4 hari yang lalu. BAB lebih dari 10 kali sehari. Tidak disertai darah dan lendir. BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit serupa disangkal.
Riwayat diabetes mellitus disangkal.
Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat alergi obat/makanan disangkal
Riwayat penyakit keluarga :
Sulit dievaluasi karena pasien tinggal di panti sosial.

Riwayat Lingkungan Sosial :
- Pasien adalah seorang bujangan.
- Pasien tinggal bersama teman-temannya di panti sosial.

PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis :
Keadaan umum cukup (lemas), kesadaran compos mentis.
Vital Sign        : TD = 100/70 mmHg, Suhu = 36,5ºC, Nadi = 72x/menit, Respirasi = 20x/menit.
Mata                            : conjunctiva anemis tidak didapatkan, sklera tidak ikterik, reflek cahaya positif.
Leher                           : pembesaran kelenjar getah bening tidak didapatkan, peningkatan tekanan vena jugularis tidak ada.
Thorax             : Inspeksi         à dinding dada simetris kanan dan kiri, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
                                    Palpasi à cor : ictus cordis di SIC V linea midclavicularis sinistra pulmo : fremitus (+), simetris kanan kiri, ketinggalan  gerak (-)
            Perkusi            à cor : batas atas jantung SIC III linea parasternalis sinistra, batas jantung bawah SIC V linea midclavicularis sinistra pulmo : sonor diseluruh lapang paru
                                    Auskultasi       à cor : suara jantung S1-S2 tunggal reguler, kesan normal, pulmo : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen        : Inspeksi         à sikatrik (-), dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
                         Auskultasi      à peristaltik (+)
 Palpasi            à nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-),
     splenomegali (-)  turgor elastisitas kulit normal
                          Perkusi          à timpani di keempat kuadran, nyeri ketok kostovertebral (-)
Extremitas       : tidak ditemukan oedema.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 12 Mei 2012:
WBC 8500/µL, RBC 3,43.106/ µL, Hemoglobin 10,1 g/dL, HCT 28,4 %, MCV 82,8 fL, MCH 29,4 Pg, MCHC 35,6 g/dL, PLT 255. 103/ µL. Creatinine 1,37 mg/dl. Glukosa Darah 141,90 mg/dl. SGOT 32,05 U/I. SGPT 28,12 U/I. Urea 78,21 mg/dl. Golongan darah: O. HbsAg(-).
Hasil pemeriksaan feses tanggal 14 Mei 2012:
Ditemukan telur Anchylostoma duodenale.

DIAGNOSIS
 Ankilostomiasis.

TERAPI
Infus RL 20 tpm
Inj. Cefazolin 1 gr/12 jam
Inj. Ranitidin 1 Amp/12 jam
Inj. Ondancentron K/P
Inj. Metronidazole 500 mg/12 jam
Pamol K/P
Pirantel Pamoat 1x1 tab.

FOLLOW-UP
Tanggal 13 Mei 2012
S: Pasien sulit diajak komunikasi. Diare(+) BAK(+) makan(+) minum(+)
O: TD: 80/50 mm/Hg, N: 80x/menit, T: 360C
Kepala : CA -/-, SI -/-
Thorax : Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
               Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral dingin(+)
A : Gastroenteritis Akut
Terapi:
RL guyur 1 flabot
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1

Tanggal 14 Mei 2012
S: pasien sulit diajak komunikasi (ngelantur), diare berkurang, mencret sedikit, ada ampas. BAK(+) makan(+) minum(+)
O: TD: 80/50 mm/Hg, N: 100x/menit, T: 360C
Kepala : CA -/-, SI -/-
Thorax : Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
               Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (-)
A : Gastroenteritis Akut dengan Syok hipovolemik.
Terapi:
RL guyur 1-2 flabot à 40 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1
Evaluasi TD/ 6 jam

Tanggal 15 Mei 2012:
S: Diare(+) sedikit, ampas(+), mual(-), muntah(-), pusing(-), sulit tidur(+).
O: TD: 70/50 mm/Hg, N: 100x/menit, T: 360C
Kepala : CA -/-, SI -/-
Thorax : Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
               Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (-)
Pemeriksaan fesesà ditemukan telur cacing (Anchylostoma duodenale)
A : Ankilostomiasis dengan syok hipovolemik
Terapi:
RL guyur 1-2 flabot à 40-50 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Metronidazole 500mg stop
Pamol K/P
Diagit 3x1
Pirantel pamoat 1x1
Evaluasi TD/ 6 jam

Tanggal 16 Mei 2012
S: Diare(+) sedikit, ampas(+), mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+), minum(+)
O: TD: 80/40  mm/Hg, N: 80x/menit, T: 360C
Kepala : CA -/-, SI -/-
Thorax : Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
               Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (-)
A : Ankilostomiasis dengan syok hipovolemik

Terapi:
RL guyur 1-2 flabot à 40-50 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1
Evaluasi TD/ 6 jam

Tanggal 17 Mei 2012
S: Diare(+) sedikit, ampas(+), mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+), minum(+)
O: TD: 100/55  mm/Hg, N: 88x/menit, T: 360C
Kepala : CA +/+, SI -/-
Thorax : Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
               Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (-)
Hasil pemeriksaan lab. Tanggal 17 Mei 2012 jam 14:50: Hemoglobin 8,5 g/dl
A : Ankilostomiasis dengan syok hipovolemik dan anemia
Terapi:
Transfusi PRC 2 kolf.
RL guyur 1-2 flabot à 40-50 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1

Tanggal 18 Mei 2012 – 20 Mei 2012
S: Diare(-), kadang sesak nafas(+), mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+), minum(+)
O: TD: 90/60  mm/Hg, N: 80x/menit, T: 360C, Rr: 20x/menit
Kepala : CA +/+, SI -/-
Thorax : Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
               Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (-)
A : Ankilostomiasis dengan syok hipovolemik dan anemia
Terapi:
RL 30 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Pamol K/P

Tanggal 21 Mei 2012
S: BAB (+) Normal, mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+), minum(+)
O: TD: 110/70  mm/Hg, N: 78x/menit, T: 36,90C
Kepala : CA +/+, SI -/-
Thorax : Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
               Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (-)
A : Obs. Ankilostomiasis dengan syok hipovolemik dan anemia

Terapi:
Diagit K/P
Cefadroxil 2x500mg
Omeprazole 1x1







BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Ankilostomiasis
1.      Definisi
Ankilostomiasis adalah penyakit cacing tambang yang disebabkan oleh Ancylostoma duodenale (Pohan, 2009).
2.      Etiologi
Lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted Helminth yang masih menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma sp). Infeksi cacing tambang masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena menyebabkan anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia (Onggowaluyo, 2001 cit Sumanto, 2010).
Penyakit cacing tambang disebabkan oleh cacing Necator americanus, Ancylostoma duodenale, dan jarang disebabkan oleh Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma caninum, Ancylostoma malayanum. Penyakitnya disebut juga ankilostomiasis, nekatoriasis, unseriasis (Pohan, 2009).
Gambar 1. Ancylostoma duodenale
( Sumber: Anonim, 2012)


Daur hidup Ancylostoma duodenale:
Telur à larva rabditiform à larva filariform à menembus kulit à kapiler darah à jantung kanan à paru à bronkus à trakea à laring à usus halus (Margono, 2006).
3.      Patofisiologi
Telur dihasilkan oleh cacing betina dan keluar memalui tinja. Bila telur tersebut jatuh ke tembat yang hangat, lembab dan basah, maka telur akan berubah menjadi larva yang infektif. Dan jika larva tersebut kontak dengan kulit, bermigrasi sampai ke paru-paru dan kemudian turun ke usus halus; di sini larva berkembang menjadi cacing dewasa (Pohan, 2009). Infeksi terjadi jika larva filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform (Margono, 2006).
4.      Gejala Klinis
Stadium larva:
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut grown itch. Perubahan pada paru biasanya ringan.
Stadium dewasa:
Gejala tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita (Fe dan Protein). Tiap cacing A.duodenale menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,08-0,34 cc sehari. Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun (Margono, 2006).
Rasa tidak enak pada perut, kembung, sering mengeluarkan gas (flatus), mencret-mencret merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi lebih kurang dua minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit. Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing dan walaupun diperlukan lebih dari 500 cacing dewasa untuk menimbulkan anemia tersebut tentunya tergantung pada keadaan gizi pasien (Pohan, 2009).
5.      Diagnosis
Untuk kepentingan diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan secara klinis dan epidemiologis. Secara klinis dengan mengamati gejala klinis yang terjadi pada penderita sementara secara epidemiologis didasarkan atas berbagai catatan dan informasi terkait dengan kejadian infeksi pada area yang sama dengan tempat tinggal penderita periode sebelumnya. Pemeriksaan penunjang saat awal infeksi (fase migrasi larva) mendapatkan: a) eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml), b) feses normal, c) infiltrat patchy pada foto toraks dan d) peningkatan kadar IgE. Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi formalin 10% dilakukan secara langsung dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan N. Americanus dan A. duodenale. Pemeriksaan yang dapat membedakan kedua spesies ini ialah dengan faecal smear pada filter paper strip Harada-Mori. Kadang-kadang perlu dibedakan secara mikroskopis antara infeksi larva rhabditiform (L2) cacing tambang dengan larva cacing strongyloides stercoralis (Montessor, 2004 cit Sumanto, 2010).
Diagnosis pasti penyakit ini adalah dengan ditemukannya telur cacing tambang di dalam tinja pasien. Selain tinja, larva juga bisa ditemukan dalam sputum. Kadang-kadang terdapat darah dalam tinja (Pohan, 2009).
6.      Ankilostomiasis dan Anemia
Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting yang membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan submukosa jaringan intestinal. Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus cacing menyebabkan tekanan negatif yang menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam kapsul bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol yang menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing tambang akan memperberat kerusakan pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan sekresi berbagai antikoagulan termasuk diantaranya inhibitor faktor VIIa (tissue inhibitory factor). Cacing ini kemudian mencerna sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan enzim hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi dari darah tersebut akan keluar melalui saluran cerna. Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi cacing tambang tergantung pada status besi tubuh dan gizi pejamu, beratnya infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita), serta spesies cacing tambang dalam usus. Infeksi A. duodenale menyebabkan perdarahan yang lebih banyak dibandingkan N. americanus (Keshavarz, 2000).
Pada daerah-daerah tertentu anemia gizi diperberat keadaannya oleh investasi cacing. terutama oleh cacing tambang. Cacing tambang menempel pada dinding usus dan memakan darah. Akibat gigitan sebagian darah hilang dan dikeluarkan dari dalam badan bersama tinja. Jumlah cacing yang sedikit belum menunjukkan gejala klinis tetapi bila dalam jumlah yang banyak yaitu lebih dari 1000 ekor maka. orang yang bersangkutan dapat menjadi anemia (Husaini, 1989 cit Rasmaliah, 2004).
7.      Penatalaksanaan
Perawatan umum dilakukan dengan memberikan nutrisi yang baik; suplemen preparat besi diperlukan oleh pasien dengan gejala klinis yang berat, terutama bila ditemukan bersama-sama dengan anemia (Pohan, 2009). Obat untuk infeksi cacing tambang adalah Pyrantel pamoate (Combantrin, Pyrantin), Mebendazole (Vermox, Vermona, Vircid), Albendazole (Menkes, 2006).

B.       Anemia
1.      Definisi
Anemia adalah suatu kondisi medis di mana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Tingkat normal dari hemoglobin umumnya berbeda pada laki-laki dan perempuan. Untuk pria, anemia biasanya didefinisikan sebagai kadar hemoglobin kurang dari 13,5 gram/100 ml dan pada wanita sebagai hemoglobin kurang dari 12,0 gram/100 ml. Definisi ini dapat sedikit berbeda tergantung pada sumber dan referensi laboratorium yang digunakan (Nabili, 2012).
2.      Etiologi
a.       Anemia akibat kehilangan darah
Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan, yang dapat terjadi perlahan-lahan selama jangka waktu yang panjang, dan sering bisa tidak terdeteksi. Jenis perdarahan kronis umumnya hasil dari berikut ini:
1.      Gastrointestinal kondisi seperti maag, wasir, gastritis (radang lambung), dan kanker.
2.      Penggunaan obat anti-inflammatory drugs (NSAID) seperti ibuprofen, aspirin, yang dapat menyebabkan borok dan gastritis.
3.      Menstruasi dan persalinan pada wanita, terutama jika perdarahan menstruasi yang berlebihan dan jika ada kehamilan kembar
b.      Anemia Akibat Penurunan Produksi Darah atau rusak Red Cell
Dengan jenis anemia, tubuh dapat memproduksi sel darah terlalu sedikit atau sel-sel darah tidak berfungsi dengan benar. Dalam kedua kasus, anemia dapat hasil. Sel darah merah mungkin rusak atau menurun karena kelainan sel darah merah atau kurangnya suatu mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk sel darah merah berfungsi dengan benar. Kondisi yang terkait dengan penyebab anemia adalah sebagai berikut:
1.      Anemia sel sabit
2.      Anemia defisiensi besi
3.      Kekurangan vitamin
4.      Sumsum tulang dan masalah sel induk
5.      Kondisi kesehatan lainnya (Anonim, 2012).


3.      Manifestasi Klinis
Beberapa pasien dengan anemia tidak memiliki gejala. Lainnya dengan anemia mungkin merasa:
a.       Lelah
b.      Mudah lelah
c.       Tampak pucat
d.      Palpitasi (perasaan jantung berdebar-debar)
e.      Menjadi sesak napas
Tambahan gejala termasuk:
a.       Rambut rontok
b.      Malaise (badan terasa tidak enak badan)
c.       Memburuknya masalah jantung
Perlu dicatat bahwa jika anemia sudah ada sejak lama (anemia kronis), tubuh dapat menyesuaikan diri dengan kadar oksigen rendah dan orang tersebut mungkin tidak merasa berbeda kecuali anemia menjadi parah. Di sisi lain, jika anemia terjadi secara cepat (anemia akut), pasien mungkin mengalami gejala yang signifikan relatif cepat (Nabili, 2012).
4.      Diagnosis
Langkah pertama dalam diagnosis apapun adalah pemeriksaan fisik untuk menentukan apakah pasien memiliki gejala anemia dan komplikasi. Karena anemia bisa menjadi gejala pertama dari penyakit serius, menentukan penyebabnya sangat penting. Ini mungkin sulit, khususnya pada orang tua, kurang gizi, atau orang dengan penyakit kronis, anemia dapat disebabkan oleh satu faktor atau lebih. Sebuah riwayat kesehatan, pribadi, dan asupan makanan harus dilaporkan (Simon, 2009).
Hitung darah lengkap.
Tingkat keparahan anemia dikategorikan oleh rentang konsentrasi hemoglobin berikut:
a.       Anemia ringan dianggap ketika hemoglobin adalah antara 9,5-13,0 g / dL
b.      Anemia Sedang dipertimbangkan ketika hemoglobin adalah antara 8,0-9,5 g / dL
c.       Anemia berat dianggap untuk konsentrasi hemoglobin di bawah 8,0 g / dL
Hematokrit. Rentang anemia untuk hematokrit umumnya jatuh di bawah:
a.       Anak-anak usia 6 bulan - 5 tahun: Di bawah 33%
b.      Anak-anak usia 5 tahun - 12 tahun: Di bawah 35%
c.       Anak-anak usia 12 tahun - 15 tahun: Di bawah 36%
d.      Dewasa pria: Di bawah 39%
e.       Dewasa wanita yang tidak hamil: Di bawah 36%
f.       Ibu hamil Dewasa: Di bawah 33%
Pengukuran hemoglobin lain seperti hemoglobin sel hidup rata-rata dan berarti konsentrasi hemoglobin sel hidup (MCHC) juga dapat dihitung. Nilai MCV (MCV) adalah pengukuran ukuran rata-rata sel darah merah. MCV meningkat ketika sel darah merah lebih besar dari normal (makrositik) dan menurun ketika sel darah merah lebih kecil dari normal (mikrositik). Sel makrositik dapat menjadi tanda anemia yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12, sedangkan sel mikrositik adalah tanda kekurangan zat besi anemia atau thalassemia (Simon, 2009).
5.      Penatalaksanaan
Pengobatan untuk anemia tergantung pada jenis, penyebab, dan keparahan kondisi. Perawatan mungkin termasuk perubahan diet atau suplemen, obat-obatan, prosedur, atau operasi untuk mengobati kehilangan darah (Anonim, 2012).
Tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan jumlah oksigen yang dapat membawa darah Anda. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan jumlah sel darah merah dan / atau tingkat hemoglobin. (Hemoglobin adalah protein kaya zat besi dalam sel darah merah yang membawa oksigen ke tubuh.). Tujuan lain adalah untuk mengobati penyebab anemia (Anonim, 2012).

C.      Syok Hipovolemik
1.      Definisi
Syok hipovolemik juga dikenal sebagai shock oligemic atau hematogenic. Fitur penting dari semua bentuk syok hipovolemik adalah hilangnya cairan dari volume darah yang bersirkulasi, sehingga sirkulasi yang memadai ke seluruh bagian tubuh tidak dapat dipertahankan (Anonim, 2012).
2.      Etiologi
Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang besar atau majemuk (Rifki, 1999).
Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus (Rifki, 1999).
3.      Patofisiologi
Proses patofisiologi dari syok hipovolemik adalah searah. Darah dan atau cairan keluar tubuh, menyebabkan penurunan jumlah volume di pembuluh darah. Aliran balik vena menurun karena kurangnya cairan di ruang vaskuler, menyebabkan penurunan pengisian ventrikel. Ventrikel tidak memiliki darah sebanyak seperti biasa untuk memompa keluar, jadi stroke volume menurun. Denyut jantung akan meningkat untuk mengkompensasi. Stroke volume berkurang sehingga output jantung rendah dan tekanan darah rendah. Akhirnya, jika cairan atau kehilangan darah terus berlangsung, denyut jantung tidak akan dapat mengkompensasi penurunan Stroke volume. Hasil akhir dari syok hipovolemik adalah perfusi jaringan yang  tidak memadai (Duane, 2008).
4.      Penatalaksanaan
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial (Rifki, 1999).
Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam seimbang (Rifki, 1999).

5.      Prognosis
Syok hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala dan hasil dapat bervariasi tergantung pada:
a.       Jumlah darah / volume cairan yang hilang
b.      Tingkat darah / cairan kerugian
c.       Penyakit atau cedera yang menyebabkan kerugian
d.      Kondisi Underlying obat kronis, seperti diabetes dan jantung, paru, dan penyakit ginjal.
Secara umum, pasien dengan derajat ringan shock cenderung lebih baik dibandingkan dengan guncangan lebih parah. Dalam kasus-kasus syok hipovolemik parah, kematian adalah mungkin bahkan dengan perhatian medis segera. Orang tua lebih cenderung memiliki hasil yang buruk karena syok (Heller, 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar