BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ankilostomiasis (infeksi cacing
tambang pada manusia) adalah infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah yang
disebabkan oleh nematoda parasit Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale.
Ini adalah penyebab utama anemia dan malnutrisi protein, melanda sebuah 740
juta orang di negara-negara berkembang dari daerah tropis. Jumlah terbesar
kasus terjadi di daerah pedesaan miskin di sub-Sahara Afrika, Amerika Latin,
Asia Tenggara dan Cina. N. americanus adalah cacing tambang paling umum di
seluruh dunia, sementara A. duodenale lebih dibatasi secara geografis (WHO, 2012).
Di Indonesia masih
banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacing perut yang
ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi,
kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian,
karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga
menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi Cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat
tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit
penyakit ini (Menkes, 2006).
Di dunia saat ini,
lebih dari 2 milyar penduduk terinfeksi cacing. Prevalensi yang tinggi
ditemukan terutama di negara-negara non industri (negara yang sedang
berkembang).Merid mengatakan bahwa menurut World Health Organization (WHO)
diperkirakan 800 juta–1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700–900 juta terinfeksi
cacing tambang, 500 juta terinfeksi trichuris. Di
Indonesia penyakit cacing merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak
setelah malnutrisi. Prevalensi dan intensitas tertinggi didapatkan dikalangan
anak usia sekolah dasar. Di Sumatera Utara yang meliputi daerah tingkat dua
Binjai, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Tanjung Balai, Sibolga dan
Medan menurut hasil penelitian pada tahun 1995 menunjukkan tingkat prevalensi
berkisar 57–90% (Ginting, 2003).
Infeksi cacing tambang
juga berhubungan dengan kemiskinan. Menurut Peter Hotez (2008),
semakin parah tingkat kemiskinan masyarakat akan semakin berpeluang untuk
mengalami infeksi cacing tambang. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan dalam menjaga
higiene perorangan dan sanitasi lingkungan tempat tinggal (Hotez, 2008 cit Sumanto, 2010).
B.
Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk memberikan
informasi kepada tenaga medis dan dokter mengenai penyakit ankilostomiasis
sehingga dalam penegakan diagnosis bisa terdiagnosa secara cepat dan tepat
serta mendapatkan penanganan yang lebih baik, efektif dan efisien dan mencegah
komplikasi lebih lanjut.
BAB
II
LAPORAN
KASUS
IDENTITAS
Nama :
Tn. E
Umur :
38 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status perkawinan : Belum
menikah
Alamat :
Kutu 2/8 Telukan, Grogol, Sukoharjo
No
RM :
190875
Masuk Rumah Sakit : 12 Mei 2012
Jam :
14:23 WIB
Tanggal pemeriksaan : 15 Mei 2012
ANAMNESA
Alloanamnesa à Tn. D (Petugas panti sosial)
Keluhan Utama :
BAB Cair.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien
datang ke IGD
RSUD Sukoharjo pada tanggal 12 Mei
2012 jam 14.23 WIB dengan keluhan BAB cair sejak 4 hari yang lalu.
BAB lebih dari 10 kali sehari. Tidak disertai darah dan
lendir. BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit serupa disangkal.
Riwayat diabetes mellitus disangkal.
Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat alergi obat/makanan disangkal
Riwayat penyakit keluarga :
Sulit dievaluasi karena pasien tinggal di panti sosial.
Riwayat
Lingkungan Sosial :
-
Pasien adalah seorang bujangan.
- Pasien tinggal bersama teman-temannya di panti sosial.
PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis :
Keadaan
umum cukup (lemas), kesadaran
compos mentis.
Vital Sign :
TD = 100/70 mmHg, Suhu = 36,5ºC, Nadi = 72x/menit, Respirasi = 20x/menit.
Mata :
conjunctiva
anemis tidak didapatkan,
sklera tidak ikterik, reflek cahaya positif.
Leher : pembesaran kelenjar
getah bening tidak didapatkan, peningkatan tekanan vena jugularis tidak ada.
Thorax : Inspeksi
à
dinding dada simetris kanan dan kiri, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
Palpasi à
cor : ictus cordis di SIC V linea midclavicularis sinistra pulmo : fremitus (+),
simetris kanan kiri, ketinggalan gerak (-)
Perkusi
à
cor : batas atas jantung SIC III linea parasternalis sinistra, batas jantung bawah SIC
V linea midclavicularis sinistra pulmo
: sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi
à
cor : suara jantung S1-S2 tunggal reguler, kesan normal, pulmo : suara dasar
vesikuler (+/+), suara
tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi à
sikatrik (-), dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
Auskultasi à
peristaltik (+)
Palpasi à
nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-) turgor
elastisitas kulit normal
Perkusi à
timpani di keempat kuadran, nyeri ketok kostovertebral (-)
Extremitas : tidak ditemukan
oedema.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 12 Mei 2012:
WBC 8500/µL, RBC 3,43.106/ µL, Hemoglobin 10,1 g/dL, HCT 28,4 %,
MCV 82,8 fL, MCH 29,4 Pg, MCHC 35,6 g/dL, PLT 255. 103/ µL.
Creatinine 1,37 mg/dl. Glukosa Darah 141,90 mg/dl. SGOT 32,05 U/I. SGPT 28,12
U/I. Urea 78,21 mg/dl. Golongan darah: O. HbsAg(-).
Hasil pemeriksaan feses tanggal 14 Mei 2012:
Ditemukan telur Anchylostoma duodenale.
DIAGNOSIS
Ankilostomiasis.
TERAPI
Infus RL 20 tpm
Inj. Cefazolin 1 gr/12 jam
Inj. Ranitidin 1 Amp/12 jam
Inj. Ondancentron K/P
Inj. Metronidazole 500 mg/12 jam
Pamol K/P
Pirantel Pamoat 1x1 tab.
FOLLOW-UP
Tanggal 13 Mei 2012
S: Pasien sulit
diajak komunikasi. Diare(+) BAK(+) makan(+) minum(+)
O: TD: 80/50
mm/Hg, N: 80x/menit, T: 360C
Kepala
: CA -/-, SI -/-
Thorax
: Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
: peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas
: Akral dingin(+)
A : Gastroenteritis Akut
Terapi:
RL guyur 1 flabot
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1
Tanggal 14 Mei 2012
S: pasien sulit
diajak komunikasi (ngelantur), diare berkurang, mencret sedikit, ada ampas.
BAK(+) makan(+) minum(+)
O: TD: 80/50
mm/Hg, N: 100x/menit, T: 360C
Kepala
: CA -/-, SI -/-
Thorax
: Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
: peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas
: Akral hangat. Oedema (-)
A : Gastroenteritis Akut dengan Syok hipovolemik.
Terapi:
RL guyur 1-2 flabot à 40 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1
Evaluasi TD/ 6 jam
Tanggal 15 Mei 2012:
S: Diare(+)
sedikit, ampas(+), mual(-), muntah(-), pusing(-), sulit tidur(+).
O: TD: 70/50 mm/Hg,
N: 100x/menit, T: 360C
Kepala
: CA -/-, SI -/-
Thorax
: Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
: peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas
: Akral hangat. Oedema (-)
Pemeriksaan fesesà ditemukan telur cacing (Anchylostoma duodenale)
A : Ankilostomiasis
dengan syok hipovolemik
Terapi:
RL guyur 1-2 flabot à 40-50 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Metronidazole 500mg stop
Pamol K/P
Diagit 3x1
Pirantel pamoat 1x1
Evaluasi TD/ 6 jam
Tanggal 16 Mei 2012
S: Diare(+)
sedikit, ampas(+), mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+), minum(+)
O: TD:
80/40 mm/Hg, N: 80x/menit, T: 360C
Kepala
: CA -/-, SI -/-
Thorax
: Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
: peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas
: Akral hangat. Oedema (-)
A : Ankilostomiasis dengan syok hipovolemik
Terapi:
RL guyur 1-2 flabot à 40-50 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1
Evaluasi TD/ 6 jam
Tanggal 17 Mei 2012
S: Diare(+)
sedikit, ampas(+), mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+), minum(+)
O: TD:
100/55 mm/Hg, N: 88x/menit, T: 360C
Kepala
: CA +/+, SI -/-
Thorax
: Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
: peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas
: Akral hangat. Oedema (-)
Hasil pemeriksaan lab. Tanggal 17 Mei 2012 jam 14:50: Hemoglobin 8,5 g/dl
A : Ankilostomiasis dengan syok hipovolemik dan anemia
Terapi:
Transfusi PRC 2 kolf.
RL guyur 1-2 flabot à 40-50 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1
Tanggal 18 Mei 2012 – 20 Mei 2012
S: Diare(-),
kadang sesak nafas(+), mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+), minum(+)
O: TD: 90/60 mm/Hg, N: 80x/menit, T: 360C, Rr:
20x/menit
Kepala
: CA +/+, SI -/-
Thorax
: Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
: peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas
: Akral hangat. Oedema (-)
A : Ankilostomiasis dengan syok hipovolemik dan anemia
Terapi:
RL 30 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Pamol K/P
Tanggal 21 Mei 2012
S: BAB (+)
Normal, mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+), minum(+)
O: TD:
110/70 mm/Hg, N: 78x/menit, T: 36,90C
Kepala
: CA +/+, SI -/-
Thorax
: Cor à Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo à SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
: peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas
: Akral hangat. Oedema (-)
A : Obs. Ankilostomiasis
dengan syok hipovolemik dan anemia
Terapi:
Diagit K/P
Cefadroxil 2x500mg
Omeprazole 1x1
BAB
III
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Ankilostomiasis
1.
Definisi
Ankilostomiasis adalah penyakit cacing tambang yang disebabkan oleh Ancylostoma
duodenale (Pohan, 2009).
2.
Etiologi
Lima spesies cacing
yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted Helminth yang
masih menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Strongyloides stercoralis dan cacing tambang (Necator americanus dan
Ancylostoma sp). Infeksi cacing tambang masih merupakan masalah kesehatan di
Indonesia, karena menyebabkan anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia (Onggowaluyo, 2001 cit Sumanto, 2010).
Penyakit
cacing tambang disebabkan oleh cacing Necator americanus, Ancylostoma
duodenale, dan jarang disebabkan oleh Ancylostoma braziliensis,
Ancylostoma caninum, Ancylostoma malayanum. Penyakitnya disebut juga
ankilostomiasis, nekatoriasis, unseriasis (Pohan, 2009).
Gambar 1. Ancylostoma
duodenale
( Sumber: Anonim, 2012)
Daur hidup Ancylostoma
duodenale:
Telur à larva rabditiform à larva filariform à menembus kulit à kapiler darah à jantung kanan à paru à bronkus à trakea à laring à usus halus (Margono, 2006).
3.
Patofisiologi
Telur dihasilkan oleh cacing betina dan keluar memalui
tinja. Bila telur tersebut jatuh ke tembat yang hangat, lembab dan basah, maka
telur akan berubah menjadi larva yang infektif. Dan jika larva tersebut kontak
dengan kulit, bermigrasi sampai ke paru-paru dan kemudian turun ke usus halus;
di sini larva berkembang menjadi cacing dewasa (Pohan, 2009). Infeksi terjadi
jika larva filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga mungkin dengan
menelan larva filariform (Margono, 2006).
4.
Gejala Klinis
Stadium larva:
Bila banyak
larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang
disebut grown itch. Perubahan pada paru biasanya ringan.
Stadium
dewasa:
Gejala
tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita (Fe dan
Protein). Tiap cacing A.duodenale menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,08-0,34
cc sehari. Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu juga
terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada.
Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi
kerja menurun (Margono, 2006).
Rasa tidak
enak pada perut, kembung, sering mengeluarkan gas (flatus), mencret-mencret
merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi lebih kurang
dua minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit. Anemia akan terjadi
10-20 minggu setelah infestasi cacing dan walaupun diperlukan lebih dari 500
cacing dewasa untuk menimbulkan anemia tersebut tentunya tergantung pada
keadaan gizi pasien (Pohan, 2009).
5.
Diagnosis
Untuk kepentingan
diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan secara klinis dan
epidemiologis. Secara klinis dengan mengamati gejala klinis yang terjadi pada
penderita sementara secara epidemiologis didasarkan atas berbagai catatan dan
informasi terkait dengan kejadian infeksi pada area yang sama dengan tempat
tinggal penderita periode sebelumnya. Pemeriksaan penunjang saat awal
infeksi (fase migrasi larva) mendapatkan: a) eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml),
b) feses normal, c) infiltrat patchy pada foto toraks dan d) peningkatan kadar IgE.
Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi formalin 10% dilakukan secara
langsung dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan N.
Americanus dan A. duodenale. Pemeriksaan yang dapat membedakan kedua
spesies ini ialah dengan faecal smear pada filter paper strip Harada-Mori.
Kadang-kadang perlu dibedakan secara mikroskopis antara infeksi larva rhabditiform (L2)
cacing tambang dengan larva cacing strongyloides stercoralis (Montessor,
2004 cit Sumanto, 2010).
Diagnosis
pasti penyakit ini adalah dengan ditemukannya telur cacing tambang di dalam
tinja pasien. Selain tinja, larva juga bisa ditemukan dalam sputum.
Kadang-kadang terdapat darah dalam tinja (Pohan, 2009).
6.
Ankilostomiasis
dan Anemia
Cacing tambang memiliki
alat pengait seperti gunting yang membantu melekatkan dirinya pada
mukosa dan submukosa jaringan intestinal. Setelah terjadi pelekatan, otot
esofagus cacing menyebabkan tekanan negatif yang menyedot gumpalan
jaringan intestinal ke dalam kapsul bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi
ruptur kapiler dan arteriol yang menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim
hidrolitik oleh cacing tambang akan memperberat kerusakan pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan
sekresi berbagai antikoagulan termasuk
diantaranya inhibitor
faktor VIIa (tissue inhibitory factor). Cacing ini kemudian mencerna sebagian darah yang
dihisapnya dengan bantuan enzim hemoglobinase,
sedangkan sebagian
lagi dari darah tersebut akan keluar melalui saluran cerna. Terjadinya anemia defisiensi besi
pada infeksi cacing tambang tergantung
pada status besi tubuh dan gizi pejamu, beratnya infeksi (jumlah cacing dalam usus
penderita), serta spesies cacing tambang dalam usus. Infeksi A. duodenale menyebabkan
perdarahan yang lebih banyak dibandingkan N. americanus (Keshavarz, 2000).
Pada daerah-daerah tertentu
anemia gizi diperberat keadaannya oleh investasi cacing. terutama oleh cacing
tambang. Cacing tambang menempel pada dinding usus dan memakan darah. Akibat
gigitan sebagian darah hilang dan dikeluarkan dari dalam badan bersama tinja.
Jumlah cacing yang sedikit belum menunjukkan gejala klinis tetapi bila dalam
jumlah yang banyak yaitu lebih dari 1000 ekor maka. orang yang bersangkutan
dapat menjadi anemia (Husaini, 1989 cit
Rasmaliah, 2004).
7.
Penatalaksanaan
Perawatan umum dilakukan dengan memberikan nutrisi yang
baik; suplemen preparat besi diperlukan oleh pasien dengan gejala klinis yang
berat, terutama bila ditemukan bersama-sama dengan anemia (Pohan, 2009). Obat
untuk infeksi cacing
tambang adalah Pyrantel pamoate (Combantrin, Pyrantin), Mebendazole (Vermox, Vermona,
Vircid), Albendazole (Menkes, 2006).
B.
Anemia
1.
Definisi
Anemia adalah suatu
kondisi medis di mana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Tingkat
normal dari hemoglobin umumnya berbeda pada laki-laki dan perempuan. Untuk
pria, anemia biasanya didefinisikan sebagai kadar hemoglobin kurang dari 13,5
gram/100 ml dan pada wanita sebagai hemoglobin kurang dari 12,0 gram/100 ml.
Definisi ini dapat sedikit berbeda tergantung pada sumber dan referensi
laboratorium yang digunakan (Nabili, 2012).
2.
Etiologi
a.
Anemia akibat kehilangan darah
Sel darah merah dapat hilang
melalui perdarahan, yang dapat terjadi perlahan-lahan selama jangka waktu yang
panjang, dan sering bisa tidak terdeteksi. Jenis perdarahan kronis umumnya hasil
dari berikut ini:
1.
Gastrointestinal kondisi seperti
maag, wasir, gastritis (radang lambung), dan kanker.
2.
Penggunaan obat anti-inflammatory
drugs (NSAID) seperti ibuprofen, aspirin, yang dapat menyebabkan borok dan
gastritis.
3.
Menstruasi dan persalinan pada
wanita, terutama jika perdarahan menstruasi yang berlebihan dan jika ada
kehamilan kembar
b.
Anemia Akibat Penurunan Produksi
Darah atau rusak Red Cell
Dengan jenis anemia, tubuh dapat
memproduksi sel darah terlalu sedikit atau sel-sel darah tidak berfungsi dengan
benar. Dalam kedua kasus, anemia dapat hasil. Sel darah merah mungkin rusak
atau menurun karena kelainan sel darah merah atau kurangnya suatu mineral dan
vitamin yang dibutuhkan untuk sel darah merah berfungsi dengan benar. Kondisi
yang terkait dengan penyebab anemia adalah sebagai berikut:
1.
Anemia sel sabit
2.
Anemia defisiensi besi
3.
Kekurangan vitamin
4.
Sumsum tulang dan masalah sel
induk
5.
Kondisi kesehatan lainnya (Anonim,
2012).
3.
Manifestasi
Klinis
Beberapa pasien dengan
anemia tidak memiliki gejala. Lainnya dengan anemia mungkin merasa:
a. Lelah
b. Mudah lelah
c. Tampak
pucat
e. Menjadi
sesak napas
Tambahan gejala termasuk:
b. Malaise
(badan terasa tidak enak badan)
c. Memburuknya
masalah jantung
Perlu dicatat bahwa jika anemia
sudah ada sejak lama (anemia kronis), tubuh dapat menyesuaikan diri dengan
kadar oksigen rendah dan orang tersebut mungkin tidak merasa berbeda kecuali
anemia menjadi parah. Di sisi lain, jika
anemia terjadi secara cepat (anemia akut), pasien mungkin mengalami gejala yang
signifikan relatif cepat (Nabili,
2012).
4.
Diagnosis
Langkah
pertama dalam diagnosis apapun adalah pemeriksaan fisik untuk menentukan apakah pasien memiliki gejala anemia dan komplikasi.
Karena anemia bisa
menjadi gejala pertama dari penyakit
serius, menentukan penyebabnya sangat
penting. Ini mungkin sulit,
khususnya pada orang
tua, kurang gizi, atau orang dengan penyakit kronis, anemia dapat disebabkan oleh satu faktor atau lebih. Sebuah riwayat kesehatan, pribadi, dan asupan makanan
harus dilaporkan (Simon, 2009).
Hitung darah lengkap.
Tingkat keparahan anemia
dikategorikan oleh rentang konsentrasi hemoglobin berikut:
a.
Anemia ringan
dianggap ketika hemoglobin adalah antara 9,5-13,0 g / dL
b.
Anemia Sedang
dipertimbangkan ketika hemoglobin adalah antara 8,0-9,5 g / dL
c.
Anemia berat
dianggap untuk konsentrasi hemoglobin di bawah 8,0 g / dL
Hematokrit. Rentang
anemia untuk hematokrit umumnya jatuh di bawah:
a.
Anak-anak usia 6
bulan - 5 tahun: Di bawah 33%
b.
Anak-anak usia 5
tahun - 12 tahun: Di bawah 35%
c.
Anak-anak usia 12
tahun - 15 tahun: Di bawah 36%
d.
Dewasa pria: Di
bawah 39%
e.
Dewasa wanita yang tidak
hamil: Di bawah 36%
f.
Ibu hamil Dewasa:
Di bawah 33%
Pengukuran
hemoglobin lain seperti hemoglobin sel hidup rata-rata dan berarti konsentrasi
hemoglobin sel hidup (MCHC) juga dapat dihitung. Nilai
MCV (MCV) adalah pengukuran ukuran rata-rata sel darah merah. MCV meningkat
ketika sel darah merah lebih besar dari normal (makrositik) dan menurun ketika
sel darah merah lebih kecil dari normal (mikrositik). Sel makrositik dapat
menjadi tanda anemia yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12, sedangkan sel
mikrositik adalah tanda kekurangan zat besi anemia atau thalassemia (Simon, 2009).
5.
Penatalaksanaan
Pengobatan
untuk anemia tergantung pada jenis,
penyebab, dan keparahan kondisi. Perawatan
mungkin termasuk perubahan diet atau
suplemen, obat-obatan, prosedur, atau operasi
untuk mengobati kehilangan darah (Anonim, 2012).
Tujuan
pengobatan adalah untuk
meningkatkan jumlah oksigen yang dapat
membawa darah Anda. Hal ini
dilakukan dengan meningkatkan jumlah
sel darah merah dan / atau tingkat hemoglobin. (Hemoglobin adalah protein kaya zat besi dalam sel darah merah yang membawa oksigen ke tubuh.). Tujuan lain adalah
untuk mengobati penyebab anemia (Anonim, 2012).
C.
Syok
Hipovolemik
1. Definisi
Syok
hipovolemik juga dikenal
sebagai shock oligemic atau hematogenic. Fitur
penting dari semua bentuk syok hipovolemik adalah hilangnya cairan dari volume darah yang bersirkulasi, sehingga sirkulasi yang
memadai ke seluruh bagian tubuh
tidak dapat dipertahankan (Anonim, 2012).
2. Etiologi
Perdarahan merupakan penyebab tersering
dari syok pada pasien-pasien trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat
maupun perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan
dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat,
misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera limpa,
kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang besar atau
majemuk (Rifki, 1999).
Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena
kehilangan cairan tubuh yang lain. Pada luka bakar yang luas, terjadi
kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh.
Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan
intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa liter cairan di
dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi
kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat
ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta
difus (Rifki, 1999).
3. Patofisiologi
Proses
patofisiologi
dari syok hipovolemik adalah searah.
Darah dan atau cairan keluar
tubuh, menyebabkan penurunan jumlah volume
di pembuluh darah. Aliran
balik vena menurun karena
kurangnya cairan
di ruang vaskuler, menyebabkan penurunan pengisian
ventrikel. Ventrikel tidak memiliki darah sebanyak seperti biasa untuk memompa keluar,
jadi stroke volume
menurun. Denyut jantung akan meningkat untuk mengkompensasi. Stroke volume berkurang sehingga output jantung rendah dan tekanan darah rendah.
Akhirnya, jika cairan atau kehilangan darah terus
berlangsung, denyut jantung tidak
akan dapat mengkompensasi penurunan Stroke volume. Hasil
akhir dari syok hipovolemik
adalah perfusi jaringan yang tidak
memadai (Duane, 2008).
4. Penatalaksanaan
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap
sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi
yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada
volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang,
tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-organ vital
(jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati,
dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem
renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan
interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume
intravaskular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan
hematokrit) dan dehidrasi interstitial (Rifki, 1999).
Dengan demikain, tujuan utama dalam
mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan kembali volume intravaskular dan
interstitial. Bila defisit volume intravaskular hanya dikoreksi dengan
memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan akibat
tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang.
Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila diberikan
kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam seimbang (Rifki, 1999).
5. Prognosis
Syok hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala dan
hasil dapat bervariasi tergantung pada:
a.
Jumlah darah /
volume cairan yang hilang
b.
Tingkat darah /
cairan kerugian
c.
Penyakit atau
cedera yang menyebabkan kerugian
d.
Kondisi Underlying
obat kronis, seperti
diabetes dan jantung, paru, dan
penyakit ginjal.
Secara umum, pasien
dengan derajat ringan shock cenderung lebih baik dibandingkan dengan guncangan lebih parah. Dalam kasus-kasus syok hipovolemik parah, kematian adalah mungkin bahkan dengan perhatian medis segera. Orang tua lebih cenderung memiliki hasil yang buruk
karena syok (Heller, 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar